Agama Tanpa Simbol ???
ditulis sepulang melangkah di kedubes prancis berbulan lalu
Tentang Simbol
Percaya atau tidak, setiap dari kita harusnya menyadari bahwa segala hal merupakan simbol. Manusia tidak bisa saling memahami bila mereka tidak mulai belajar bahasa. Bahasa yang dipelajari manusia, apakah itu bahasa verbal maupun non verbal, terdiri dari simbol-simbol. Setelah simbol-simbol tersebut disepakati sebagai representasi dari suatu hal yang sama, persepsi akan simbol ini kemudian tersebar dan diajarkan. Simbol-simbol tersebut dipelajari dan digunakan secara luas. Bahkan, yang diajarkan Allah SWT pertama kali pada Nabi Adam adalah nama-nama benda.
Nama-nama benda adalah simbol verbal. Masing-masing kode auditori yang tersusun menjadi kata yang merepresentasikan benda tertentu tersebut adalah simbol verbal. Bahkan verb- asal kata verbal itu sendiri adalah kata benda dalam bahasa inggris. Atau dengan kata lain, bagi kita, nama benda. Semakin banyak benda baru yang diciptakan manusia, makin bertambah jumlah simbol verbal yang ktia pelajari.
Kemudian ada lagi simbol non verbal. Simbol non verbal merupakan tanda-tanda visual yang bisa kita dipersepsikan lewat informasi yang masuk melalui indra penglihatan. Seorang pengendara bisa mengetahui kemana ia harus menuju dan mengetahui apa yang harus dihindari dengan melihat tanda-tanda yang terpasang dijalan. Dan, seorang bayi mampu bertahan hidup dan menjadi cerdas, setelah ia memahami berbagai simbol yang ada disekitarnya.
Manusia yang makin beranjak dewasa kemudian memahami berbagai simbol verbal dan non verbal untuk bisa berkomunikasi satu dengan yang lain. Dan dunia hidup dengan rangkaian simbol yang menghidupkannya. Seperti halnya sebuah benda yang menjadi berarti setelah kita mengetahui kegunaannya, sebuah simbol menjadi berarti setelah manusia menyepakati maknanya dan mempersepsikan hal yang sama untuk satu simbol.
Yang belum banyak dipahami adalah bahwa ada dua hal yang diperlukan manusia untuk dapat berkomunikasi dan saling mengerti, yaitu simbol dan tanda (sign). Simbol dan tanda merupakan dua hal yang berbeda. Simbol berguna untuk berkomunikasi, dan tanda merupakan pembeda.
Mungkin pembahasan mengenai hal ini agak sulit. Hal ini karena keduanya merupakan hal kongkrit yang dalam tulisan ini dikupas ke-abstrak-annya. Simbol merupakan sesuatu yang netral. Apa yang diwakili oleh simbol tersebut -tanda- barulah memiliki makna pembeda. Simbol baru bisa menjadi tanda saat pemaknaan yang diberikan oleh suatu benda disepakati sebagai sebuah tanda. Seperti misalnya simbol x yang dipasang di depan suatu pintu merupakan tanda bahwa pintu tersebut dilarang dimasuki. Kita ulang lagi, simbol merupakan suatu hal yang netral, namun representasi dari simbol tersebut -tanda- lah yang menjadi pembeda.
Tanda, yang kita pahami sebagai pembeda itu, bisa memberi petunjuk. Sebuah tanda yang sangat sederhana kemudian memberi informasi yang cukup banyak. Jumlah muatan informasi yang berada dibalik suatu tanda tergantung dari seberapa banyak pengetahuan yang dimiliki seseorang. Pengetahuan yang diabstraksi dari suatu tanda inilah yang menjadikan suatu tanda bermakna.
Dalam Al Qur’an, furqan- pembeda, hanya diberikan kepada orang yang diberi Allah petunjuk. Pembeda ini berguna untuk memahami tanda-tanda tentang apa saja yang benar dan hal apa yang salah. Namun konteks ini tidak akan dibahas lebih jauh. Kita akan membatasi tulisan ini tentang makna simbol dan apa hubungannya dengan agama.
Sekarang, mengapa tulisan ini diberi judul agama tanpa simbol ?. Semua hal dapat dipahami manusia dengan adanya simbol. Manusia dapat mengambil pengetahuan tentang agama pun dengan bantuan simbol-simbol yang ada. bahasa yang ada dalam Al Quran terdiri dari simbol-simbol. Seperti halnya sebuah buku dapat dipahami manusia dengan bantuan simbol huruf yang terangkai menjadi kata yang memiliki makna yang menyusun pengetahuan kita.
Jadi kesimpulannya, mencoba memahami sesuatu tanpa simbol sama seperti memaksakan diri untuk menghirup udara di ruang hampa. Tidak mungkin. Dan ini adalah postulat yang absolut.
Tentang Agama
Agama bukanlah suatu entitas independen yang berdiri sendiri. Agama terdiri dari berbagai dimensi yang merupakan satu kesatuan. Masing-masingnya tidak dapat berdiri tanpa yang lain. seorang ilmuwan barat menguraikan agama ke dalam lima dimensi komitmen. Seseorang kemudian dapat diklasifikasikan menjadi seorang penganut agama tertentu dengan adanya perilaku dan keyakinan yang merupakan wujud komitmennya. Ketidakutuhan seseorang dalam menjalankan lima dimensi komitmen ini menjadikannya religiusitasnya tidak dapat diakui secara utuh. Kelimanya terdiri dari perbuatan, perkataan, keyakinan, dan sikap yang melambangkan (lambang=simbol) kepatuhan (=komitmen) pada ajaran agama. Agama mengajarkan tentang apa yang benar dan yang salah, serta apa yang baik dan yang buruk.
Agama berasal dari Supra Ultimate Being, bukan dari kebudayaan yang diciptakan oleh seorang atau sejumlah orang. Agama yang benar tidak dirumuskan oleh manusia. Manusia hanya dapat merumuskan kebajikan atau kebijakan, bukan kebenaran. Kebenaran hanyalah berasal dari yang benar yang mengetahui segala sesuatu yang tercipta, yaitu Sang Pencipta itu sendiri. Dan apa yang ada dalam agama selalu berujung pada tujuan yang ideal. Ajaran agama berhulu pada kebenaran dan bermuara pada keselamatan. Ajaran yang ada dalam agama memuat berbagai hal yang harus dilakukan oleh manusia dan tentang hal-hal yang harus dihindarkan. Kepatuhan pada ajaran agama ini akan menghasilkan kondisi ideal.
Mengapa ada yang Takut pada Agama?
Mereka yang sekuler berusaha untuk memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari. Mereka yang marxis sama sekali melarang agama. Mengapa mereka melakukan hal-hal tersebut? Kemungkinan besarnya adalah karena kebanyakan dari mereka sama sekali kehilangan petunjuk tentang tuntunan apa yang datang dari Tuhan. Entah mereka dibutakan oleh minimnya informasi yang mereka dapatkan, atau mereka memang menutup diri dari segala hal yang berhubungan dengan Tuhan.
Alasan yang seringkali mereka kemukakan adalah agama memicu perbedaan. Perbedaan tersebut menimbulkan konflik. Mereka memiliki orientasi yang terlalu besar pada pemenuhan kebutuhan untuk bersenang-senang, sehingga mereka tidak mau mematuhi ajaran agama yang melarang mereka melakukan hal yang menurutnya menghalangi kesenangan mereka, dan mereka merasionalisasikan perbuatan irasional mereka itu dengan justifikasi sosial-intelektual. Mereka menganggap segi intelektual ataupun sosial memiliki nilai keberhargaan yang lebih. Akibatnya, mereka menutup indera penangkap informasi yang mereka miliki dan hanya mengandalkan intelektualitas yang serba terbatas.
Mereka memahami dunia dalam batas rasio saja. Logika yang mereka miliki begitu terbatasnya, hingga abstraksi realita yang bersifat supra-rasional tidak mereka akui. Dan hasilnya, mereka terpenjara dalam realitas yang serba empiri. Semua harus terukur dan terhitung. Walaupun mereka sampai sekarang masih belum memahami banyaknya fungsi alam yang bekerja dalam mekanisme supra rasional, keterbatasan kerangka berpikir yang mereka miliki menegasikan semua hal yang tidak dapat ditangkap secara inderawi.
Padahal, pembatasan diri dalam realita yang hanya bersifat empiri hanya akan membatasi potensi manusia itu sendiri. Dan hal ini menegasikan tujuan hidup yang selama ini diagungkan para penganut realita rasio-saja, yaitu aktualisasi diri dan segala potensinya.
Agama, dengan sandaran yang kuat pada realitas supra rasional, membebaskan manusia untuk mengambil segala hal yang terbaik yang dapat dihasilkannya dalam hidup. Semua-apakah hal itu bersifat empiri-terukur, maupun yang belum dapat diukur. Empirisme bukanlah suatu hal yang ditolak agama. Agama yang benar, yang bersifat universal, mencakup segi intelektual yang luas, yang diantaranya adalah empirisme. Agama tidak mereduksi intelektualitas manusia dengan membatasi kuantitas maupun kualitas suatu idea. Agama yang benar, memberi petunjuk pada manusia tentang bagaimana potensi manusia dapat dikembangkan dengan sebesar-besarnya. Dan sejarah telah membuktikan hal tersebut.
Kesalahan yang dibuat para penilai agama-lah yang kemudian menyebabkan realita ajaran ideal ini menjadi terlihat buruk. Beberapa peristiwa sejarah yang menonjol mereka identikan sebagai kesalahan karena agama. Karena keyakinan pada ajaran agama. Padahal, kerusakan yang ditimbulkan adalah justru karena jauhnya orang dari ajaran agama. Kerusakan itu timbul saat agama-yang mengajarkan kemuliaan- disalahgunakan oleh manusia pelaksananya untuk mencapai tujuan yang terlepas dari ajaran agama itu sendiri, terlepas dari pelaksanaan keseluruhan dimensinya.
Mengapa takut pada simbol agama?
“Religion is a purposed act toward a perfect end or ideal”
Bila setiap orang memahami tujuan beragama, maka realita simbolik yang dilakukan seorang pemeluk agama bukanlah suatu hal yang menakutkan. Malah, menunjukkan kedamaian. Seseorang yang menampilkan dirinya dalam tanda-tanda yang menunjukkan bahwa ia adalah seorang penganut agama tertentu, bukanlah pengobar perang. Sebaliknya, ia adalah penunjuk dan penanda perilaku ideal.
Namun kenyataan indah ini direduksi dalam penjara informasi yang buruk. Mari kita lihat contoh yang menonjol dari timur tengah. Palestina, dengan gerakan intifadhahnya merupakan contoh yang amat baik tentang sebuah perjuangan mulia. Mereka yang ditindas oleh konspirasi yahudi-amerika-pbb yang amat kuat, tetap hidup dengan adanya gerakan perlawanan tanpa henti yang dilakukan oleh setiap individu dengan pengorbanan yang penuh-nyawa. Perjuangan yang mereka lakukan ini lebih pedih daripada perjuangan kemerdekaan negara kita sampai akhirnya proklamasi dikumandangkan. Banyak diantara kita yang terlupa bahwa dahulunya para penegak negara inipun melakukan perjuangan yang sama. Dengan batu, kerikil, bambu runcing dan nyawa. Dahulu kita mengalami hal yang hampir serupa. Bagaimana dulu penjajahan belanda-jepang-portugis menguasai nusantara? Mereka didukung oleh seluruh kekuatan barat. Dahulu tidak ada yang tahu bahwa indonesia itu ada. Dahulu, para pahlawan negara ini pun mereka sebut agresor dan ekstrimis bukan? Dan serangan tanpa takutlah yang dulunya membebaskan negara ini dari penjajahan. Demikian halnya yang kini tengah dilakukan di Palestina. perjuangan menuju kemerdekaan. Perjuangan menuju kepemilikan kembali tanah mereka yang dikuasai Israel secara sepihak. Tanah air kita pun dulu hanya diakui sebatas jawa saja, bahkan, saat bung karno dan bung moh. hatta diasingkan, pemerintahan berjalan darurat di bukit tinggi, tanpa pengakuan kewilayahan. Kita-lah yang mengakui kemerdekaan dan keberadaan negara kita sendiri dan memperjuangkannya agar tetap berdiri. Demikian hal yang sama dilakukan oleh rakyat Palestina. Namun pemberitaan barat menyatakan lain. mereka menulis umat Islam sebagai pembom bunuh diri. Dan ini menakutkan bagi banyak orang. benar-benar reduksi realita yang teramat buruk dan keji. Apa yang dilakukan oleh media barat ini serupa dengan yang dilakukan media belanda tentang perjuangan rakyat indonesia dahulu. Indonesia bisa jadi kini tidak ada, bila tanpa perjuangan Hassan Al Banna dan kawan-kawan yang meminta agar pemerintah Mesir mengirimkan surat pengakuan kemerdekaan Indonesia. Pengakuan pemerintah Mesir-lah yang akhirnya membuat negar-negara lain mengakui kemerdekaan Indonesia dan mendesak Belanda untuk mengakhiri penjajahannya.
Reduksi realita juga dilakukan dalam penyusunan sejarah. Hal ini bisa kita lihat dari catatan kemerdekaan negara kita yang dalam beberapa ensiklopedi barat bukanlah tanggal 17 Agustus 1945. itu hanya satu contoh saja. Kemudian, Islam, sering ditulis dalam sejarah sebagai pasukan keji yang melakukan pembantaian tanpa alasan. Kesalahan sengaja yang dibuat dalam pencatatan sejarah ini mengakibatkan trauma tanpa alasan yang tidak bisa disembuhkan pada masyarakat barat dalam persepsi mereka akan Islam. Kesalahan dalam persepsi ini mengakibatkan semua yang berkaitan dengan Islam dikonotasi dalam kerangka yang buruk.
Itulah mengapa akhirnya sebagian masyarakat khawatir pada segala hal yang mencerminkan kepatuhan pada ajaran Islam. Kesalahan persepsi ini menyebabkan jatuhnya berbagai undang-undang yang mendiskreditkan Islam. Bahkan jilbab, yang merupakan satu bagian kecil dari pelaksanaan ajaran agama kemudian dilarang di Prancis karena dianggap sebagai simbol.
Reduksi kebebasan besar-besaran ini membuat kening kita berkerut. Mengapa sampai terjadi di negara yang menggaungkan kebebasan, semangat egaliterian dan persaudaraan, sebuah pengekangan terhadap kebebasan berpakaian. Padahal tidak pernah ada larangan untuk yang tidak berpakaian-yang secara norma mundial- jelas-jelas melanggar susila dan memicu penyimpangan sosial yang sangat berat.
Mengapa ? telah begitu besarnya-kah reduksi realita yang terjadi hingga begitu membuat bodoh para pengambil kebijakan di Prancis. Hingga perbuatan mulia –menutup aurat- yang merupakan upaya yang seharusnya mendapat penghargaan sosial yang tinggi, kemudian dilarang? Padahal perbuatan mengenakan jilbab merupakan perbuatan yang menunjukkan self awareness dan social responsibility yang tinggi, yang membuat perbuatan bejat seperti pelecehan seksual dapat dihindari. Padahal, perilaku menutup aurat dengan baik ini juga meninggikan derajat wanita dan membebaskannya dari penilaian fisik semata. Padahal, perilaku mengenakan jilbab ini membuat aman mereka yang mengenakannya dan juga aman bagi mereka yang melihatnya. Mengapa perilaku yang begitu mulia ini kemudian dihindarkan dari masyarakat? Mengapa dilarang?