Fatwa dan Pentingnya Tabayyun
ole : Alumnus ESQ Eksekutif Angkatan 56, Direktur Eksekutif Sekolah Keluarga Fitrah
Mengapa umat Islam masih banyak yang terbelakang? Salah satu jawabannya bisa disimak dalam kisah nyata berikut ini. Suatu hari saya berdiskusi dengan teman saya yang aktivis Islam dan berprofesi sebagai trainer. Saya ceritakan tentang kedahsyatan training ESQ kepadanya. “Kalau ente belum ikut ESQ, apalagi sebagai trainer, sepertinya kurang afdhol,” kata saya.
Apa jawaban teman saya itu? Sungguh mencengangkan. “Ane gak tertarik. Sepertinya masih bagusan metode training ane. Kata teman-teman yang sudah pada ikut, materi ESQ gak ada yang baru. Cuma menang di audio visual aja,” ujarnya.
Bayangkan, teman saya itu dengan beraninya menyimpulkan ESQ biasa-biasa saja tanpa pernah mengikuti trainingnya. Ia hanya menyandarkan informasi dari teman-temannya. Inilah penyakit kronis kita: mengambil kesimpulan tergesa-gesa yang disandarkan pada informasi yang sifatnya parsial atau sekunder. Hal semacam ini tak cuma menghasilkan kesimpulan yang parsial; tapi jauh lebih buruk dari itu: melahirkan ruang syak wasangka (persepsi) yang berujung pada terpecah belahnya tubuh umat.
Bukankah dalam sehari-hari kita kerap mendengar hal seperti ini? “Kelompok Islam itu anti tahlilan dan maulid.” Ada juga yang berkomentar,” Jangan sholat Subuh di masjid itu, soalnya pakai qunut.” Atau yang lainnya: ”Itu kelompok wahabi.”
Dan paling mutakhir adalah tentang keluarnya fatwa bahwa ESQ sesat. Sejak kasus itu bergulir, beragam komentar hilir mudik di media cetak maupun internet. Dan ironisnya, kebanyakan komentar tersebut hanya bersifat dugaan; hipotesis. Persis seperti proses dikeluarkannya fatwa ESQ sesat oleh salah seorang mufti Malaysia. Ternyata, sang mufti tak pernah ikut training ESQ dan tak menghadiri pertemuan antara Ary Ginanjar dan 13 mufti Malaysia lainnya.
Ini tentu saja problem serius. Bagaimana mungkin kita bisa mengambil kesimpulan utuh jika kita tak pernah mengikuti training ESQ dan berdialog dengan pendirinya? Islam mengajarkan kita untuk melakukan tabayyun (cek dan ricek) saat mendapat informasi tentang suatu hal.
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah (kebenarannya) dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Al-Hujurat: 6)
Menurut Ibnu Katsir, ayat ini termasuk ayat yang agung karena mengandung sebuah pelajaran yang penting agar umat tidak mudah terpancing, atau mudah menerima begitu saja berita yang tidak jelas sumbernya, atau berita yang jelas sumbernya tetapi sumber itu dikenal sebagai media penyebar berita palsu, isu murahan atau berita yang menebar fitnah. Apalagi perintah Allah ini berada di dalam surah Al-Hujurat, surah yang sarat dengan pesan etika, moralitas dan prinsip-prinsip mu’amalah sehingga Sayyid Quthb mengkategorikannya sebagai surah yang sangat agung lagi padat (surat jalilah dhakhmah), karena memang komitmen seorang muslim dengan adab dan etika agama dalam kehidupannya menunjukkan kualitas akalnya (adabul abdi unwanu aqlihi).
Alangkah elegannya jika sebelum fatwa itu keluar, sang mufti melakukan tabayun ke Ary Ginanjar. Sebagai sebuah metode, ESQ tentu saja memiliki ruang ketaksempurnaan. Hal yang justru diakui oleh Ary Ginanjar setiap ia memandu training ESQ. Persepsi atau dugaan seseorang terhadap sesuatu hal bisa jadi benar, bisa juga salah. Itulah mengapa pentingnya proses tabayyun; dialog, musyawarah agar tak menimbulkan fitnah.
Kasus ini menjadi pelajaran bagi umat Islam, wabil khusus kepada para pemimpinnya. Lakukanlah dialog; persempitlah ruang kecurigaan dan persepsi; biasakanlah melakukan tabayyun sebelum kita mengeluarkan komentar atau kesimpulan. Terlebih lagi sebuah fatwa yang memiliki dampak serius bagi umat. Kitakah umat yang bisa mengambil hikmah itu?
0 Comments:
Post a Comment
<< Home